Hai sobat,kali ini kita akan ditemani oleh sosok yang inspiratif. Sosok perempuan itu
adalah Marsinah, seorang buruh perempuan yang hingga kini pembunuhannya masih
menjadi misteri, namun meninggalkan banyak semangat bagi buruh dan perempuan. Hari itu
tepatnya pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk
di pinggir sawah dekat hujan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, Kabupaten
Nganjuk, sekitar seratus kilometer dari pondokan Marsinah di pemukiman buruh,
disa Siring, Porong. Jasad Marsinah menyisakan luka di sekujur tubuhnya,
panggul vaginanya hancur dan isi perutnya penuh dengan darah. Jasad Marsinah
menjadi saksi bisu atas segala siksaan yang dihujamkan ke Marsinah hingga ia
meregang nyawa.
Pencarian
data, penyelidikan dari pihak kepolisian, tim investigasi yang dibentuk para
aktivis dan praktisi hukum tidak sanggup menemukan pelaku pembunuhan yang
sebenarnya. Sekarang, 20 tahun sudah berlalu, kematiannya tetap menjadi
misteri. Penguasa militer pusat bahkan sempat menyusun skenario peradilan untuk
menyelubungi kasus Marsinah. Kepolisian setempat pun juga menyidik para
tersangka palsu sebagai bagian dari drama peradilan para penguasa. Skenario
peradilan palsu ini berhasil digagalkan ketika Mahkamah Agung menyatakan para
tersangka bebas karena tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Marsinah.
Setelah itu, kasusnya tidak jua diusut oleh aparat hukum di negeri ini. Kuburan
Marsinah yang sempat dibongkar beberapa kali untuk penyelidikan tidak
membuahkan hasil. Membongkar kasus Marsinah sama halnya dengan memblejeti para
penguasa, elit politik, aparat hukum, dan pemodal, sehingga tak heran bila
sulit dilakukan. Sama halnya dengan nasib berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia lainnya di negeri ini.
Dan,
Marsinah tidak pernah habis sebagai sebuah inspirasi. Aktifis feminis
memperjuangkannya sebagai korban kekerasan perempuan, para seniman
mengabadikannya dalam sebuah lagu dan puisi, panggung teater, hingga seni rupa.
Sementara para aktivis Hak Asasi Manusia menganugerahkan kepadanya penghargaan
Yap Thiam Hien atas keberanian dan kegigihannya memperjuangkan hak buruh.
Keluarga Marsinah sendiri dengan tabah menjalani cobaan ini dengan tabah.
Marsinah
adalah gadis biasa dari kampung yang mau mengadu nasib di kota untuk
memperbaiki hidup keluarga sebagai baktinya kepada orang tua. Marsinah lahir
dari keluarga yang bersahaja di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten
Nganjuk. Marsinah terlahir sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara yang
semuanya adalah perempuan. Kakaknya bernama Marsini sementara adiknya diberi
nama Wijati dan kedua orang tuanya ebrama Astin dan Sumini. Kala Marsinah
berusia tiga tahun, ibundanya berusia 3 tahun (ia lahir pada tahun 1968) dan
adiknya masih berusia 40 hari. Ayahnya, Astin lalu menikah lagi dengan Sarini,
yang berasal dari desa lain. Sejak ayahnya menikah lagi itulah, Marsinah diasuh
oleh sang nenek, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya.
Marsinah
adalah gadis biasa dengan masa kecil yang biasa pula. Sebagai anak perempuan
dari kalangan menengah pedesaan, Marsinah tidak terlalu miskin juga tidak kaya.
Namun, Marsinah, seperti anak pada umumnya di negeri dunia ke tiga, bekerja di
usia dini yang membuatnya tampak lebih dewasa dari pada usia yang sebenarnya.
Menjadi pekerja anak, adalah lazim di Indonesia baik bekerja di rumah maupun di
pabrik sepulang dari sekolah. Membantu sang nenek menjual gabah dan jagung
adalah rutinitas bagi Marsinah, dengan upah ala kadarnya. Tiap hari Marsinah
mengangkut gabah dengan sepedanya dari sawah ke rumah pembeli gabah.
Di hadapan
teman- teman sekolah dan guurnya, di SD Negeri Nglundo, Marsinah adalah murid
biasa dengan nilai yang biasa- biasa saja. Hanya, Marsinah memliki minat baca
tinggi, dan rajin belajar. Selain, ia memiliki sikap kritis dan bertanggung
jawab. Hampir semua tugas sekolah selalu ia selesaikan dengan kerja keras di
tengah pekerjaannya. Apabila ia tidak paham atas penjelasan gurunya, Marsinah
tidak segan bertanya. Setelah naik kelas enam, Marsinah pindah sekolah ke SD
Negeri Karangsemi dan melanjutkan ke SMP Negeri lima Nganjuk pada tahun ajaran
1981/1982. Seperti murid lainnya, Marsinah juga berusaha untuk masuk ke SMA
Negeri. Namun, upaya Marsinah ini ternyata gagal, yang kemudian akhirnya ia
memilih masuk ke SMA Muhamadiyah dengan bantuan biaya dari pamannya yang lain.
Di sekolah menegah pertama inilah, minat baca Marsinah meningkat. Di waktu
senggang, Marsinah lebih memilih ke perpustakaan dari pada bermain bersama
teman sebayanya. Di sinilah, Marsinah menemukan mimpinya yakni belajar di
Fakultas Hukum. Namun apa dinyana, mimpi itu dipaksa kandas oleh situasi
ekonomi yang tidak memungkinkan.
Akhirnya,
Marsinah tidak memiliki pilihan lain selain bekerja di kota besar, seperti
teman-temannya yang lain. Pada tahun 1989, Marsinah berangkat ke Surabaya dan
menumpang tinggal di rumah kakaknya, Marsini yang sudah berkeluarga. Setelah
berulang kali melamar kerja di berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima
bekerja di sebuah pabrik plastik bernama SKW, di kawasan industri Rungkut.
Namun, upah yang diterima Marsinah jauh dari cukup. Guna menambah penghasilan,
Marsinah lalu berdagang nasi bungkus di sekitar perusahaan dengan harga Rp 150
per bungkus. Baru pada tahun 1990 Marsinah bekerja di Pt. Catur Putra Surya ,
Rungkut. Di kawasan industri ini pula ia sempat bekerja di sebuah perusahaan
pengemasan barang. Kehidupan Marsinah, adalah cerminan kehidupan buruh pada
umumnya di era 1980an.Bekerja di parbik pembuatan arloji Rungkut, Surabaya,
Marsinah sempat bersama kawan-kawannya menuntut berdirinya unit serikat pekerja
formal (SPSI). Namun, tentu saja langkah ini tidak disukai pihak perusahaan,
hingga akhirnya Marsinah dimutasi oleh pihak manajemen ke cabang pabrik PT.CPSdi Porong,
Sidoarjo di awal tahun 1992. Di sana, ia tinggal di kosan buruh, desa Siring,
dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi. Ia diupah sebesar Rp 1.700
dan uang hadir sebesar Rp 550 per hari. Di pabrik ini, Marsinah tidak
terlibat dalam kepengurusan SPSI naun secara informal ia sering terlibat dalam
diskusi-diskusi perburuhan. Marsinah pun memanfaatkan waktu luangnya untuk
mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Dengan kurus komputer, Marsinah
belajar menambah pengetahuannya.
Suatu
hari, pada pertengahan April 1993, buruh PT. CPS, Porong Sidoarjo mengetahui
informasi bahwa pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Timur telah menetapkan
kenaikan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Tentu saja buruh senang
mendengarnya. Sayang, pihak perusahaan tidak bersedia melaksanakan keputusan
pemerintah tersebut. Hal ini, pada akhirnya memicu keresahan buruh PT. CPS yang
kemudian bersepakat melakukan pemogokan.
Keberanian
buruh PT. CPS melakukan pemogokan tentu tidak datang dari langit. Kala itu, di
era 1980an, pemogokan sudah menjadi metode untuk menguatkan posisi perundingan.
Akibat kebijakan upah murah pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor,
perselisihan industri meluas. Jumlah pemogokan meningkat luar biasa di awal
tahun 90an meski masih bersifat spontan dan tidak terorganisir.
Pada 3 – 4
Mei 1993 inilah, buruh PT. CPS melakukan aksi mogok dan berujung pada
pembunuhan Marsinah. Dalam pemogokan itu, aktivitas perundingan juga
berlangsung. Perwakilan buruh berjumlah 15 orang berhasil melakukan perundingan
dengan pihak manajemen. Marsinah dalam hal ini bukan pula salah satu wakil
buruh, ia hanyalah peserta aksi biasa yang peduli atas hak buruh. Pada
pemogokan hari ke dua, yaitu 4 Mei 1993, perundingan berlangsung tanpa
melibatkan pihak perusahaan dan justru melibatkan Kanwil Sospol Sidoarjo dan
jajaran Muspika setempat termasuk wakapolsek dan Danramil Sidoarjo. Di hari
kedua pemogokan ini, Marsinah justru masuk kerja seperti biasa dan tidak
ikut mogok. Sementara itu, dari pagi para buruh yang dituding sebagai biang
kerok pemogokan dipanggil oleh Kodim dan diinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Di sisi
lain, perundingan yang tidak melibatkan perusahaan tersebut berjalan lancar,
meski hasilnya tidak terlalu memuaskan karena ada yang dikompromikan. Salah
satu hasil yang dikompromikan adalah dibubarkannya SPSI PT. CPS. Hasil ini
tentu saja merugikan buruh karena merupakan salah satu bentuk pembrangusan
serikat. Tuntutan lainnya seperti upah sesuai Upah Minimum Regional,
perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil dipenuhi oleh pihak
perusahaan.
Keterlibatan
militer dalam perundingan mungkin adalah hal yang aneh, namun dulu itu adalah
lazim karena militer memiliki peran sentral dalam pemerintahan. Dalam hal ini,
miliiter bukanlah centeng atau suruhan perusahaan namun memegang peranan utama
untuk ikut campur dalam persellisihan industri atau hal lainnya di Indonesia.
Di era
orde baru, adalah hal lazim bila militer ikut campur dalam perselisihan
industri. Mereka bukanlah aparat yang disewa perusahaan untuk menghadapi buruh,
namun memang memiliki keleluasaan untuk ikut campur. Maklum di era orde baru,
militer memegang kekuasaan. Tak heran bila kemudian militer pun merasa berhak
memanggil beberapa pengurus SPSI PT. CPS untuk melakukan interogasi.
Pada 4 Mei
1993, 13 buruh PT. CPS yang dituding sebagai aktor utama pemogokan dipanggil
penguasa militer setempat agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816, Sidoarjo pada
esok hari. Pada malam harinya, ketika mengetahui bahwa teman-temannya esok hari
akan menghadap ke pihak Kodim Sidoarjo, Marsinah membuat beberapa catatan
tertulis untuk teman- temannya sebagai petunjuk jawaban ketika ditanyai Kodim.
Kepada teman-temannya, Marsinah menyampaikan akan membawa persoalan ini ke
pamannya di kejaksaan surabaya bila mendapat ancaman dari kodim.
Rabu 5 Mei
1993, 13 buruh PT. CPS akhirnya memenuhi panggilan Kodim di markas Kodim
Sidoarjo. Dalam panggilan ini, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran
diri di atas kertas bermeterai. Karena tak sanggup menghadapi intimidasi,
akhirnya 13 buruh tersebut menandatangani surat pengunduran diri tersebut dan
menerima uang pesangon serta uang kebijaksanaan. Namun baru setelah Magrib,
mereka menerima pembagian uang pesangon dan uang jasa tersebut. Dalam pertemuan
itu, terlontar juga pernyataan bahwa bukan pihak pengusaha yang memiliki
kemauan memecat, tapi kemauan Kodim.
Baru
keesokan paginya, yaitu Kamis, 6 Mei 1993, Marsinah bersua dengan salah satu
temannya dan meminta informasi perkembangan pertemuan dengan Kodim. Di kosnya,
Marsinah mendapat kabar bahwa 13 temannya telah menerima pesangon dan
menandatangani surat pengunduran diri. Sorenya, Marsinah mengcopy surat
pengunduran diri tersebut dan berencana membagikannya ke buruh PT. CPS. Awalnya
surat itu hendak disampaikan ke Ketua SPSI PT. CPS namun tidak jadi karena
gagal menemukan rumah Ketua SPSI PT. CPS. Akhirnya, surat itu disampaikannya
lewat satpam perusahaan.
Karena
didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi akan nasib 13 temannya itu, sepulang
mengantarkan surat, Marsinah justru kembali ke kos temannya. Menjelang Maghrib,
bersama 4 temannya, ia menyusul ke Kodim untuk menanyakan kabar 13 temannya
itu. Saat itu, 3 temannya memakai kendaraan umum, sementara Marsinah naik
sepeda motor bersama satu temannya. Marsinah dan temannya sendiri bahkan sempat
tersesat sebelum akhirnya menemukan kantor Kodim Sidoarjo. Dalam perjalanan
pulang naik sepeda motor itulah, Marsinah sempat mendatangi beberapa temannya
dan membagi kopi surat pengunduran diri 13 temannya itu.
Di
perempatan desa Siring, Marsinah bertemu 4 dari 13 temannya tersebut. Karena
ingin mengetahui lebih jelas apa yang telah telah terjadi, Marsinah mengajak
dua diantaranya untuk berdiskusi di teras kos nya. Di sinilah, Marsinah menjadi
terkejut mengetahui 13 temannya dipaksa menandatangani surat pengunduran diri
itu dan telah diPHK bukan oleh perusahaan tapi Makodim. Marsinah marah dan
menyatakan menolak pemecatan tersebut dan menegaskan rencananya untuk
mengadukan kejadian itu ke Pamannya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.
Setelah
teman-temannya pulang dari kosnya, Marsinah kemudian bergegas pergi. Kepada ibu
kosnya, ia bilang hendak ke rumah temannya. Terakhir ia pergi, Marsinah
mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit. Kemudian baru diketahui
bahwa Marsinah sama sekali tidak bertemu temannya itu karena mendapat giliran
kerja shift malam.
Dalam
perjalanan pulang ke kosnya Marsinah sempat bertemu dengan dua temannya yang
lain dan mengajak mereka ke kosnya untuk meminta Surat Perjanjian Bersama hasil
perundingan bipartit pada 4 Mei lalu. Dalam surat tersebut, perusahaan berjanji
tidak akan mencari kesalahan buruh dengan bunyi“Sehubungan dengan unjuk rasa
ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan
karyawan”. Malam itu, Rabu 5 Mei 1993 adalah malam terakhir Marsinah
terlihat oleh teman-temannya. Sepengetahuan teman- temannya, ia sempat mengajak
temannya untuk membeli makanan namun karena sudah larut malam, yakni sekitar
jam sepuluh malam, kedua temannya itu menolak. Mereka berpisah di bawah pohon
Mangga, dekat Tugu Kuning, Desa Siring.
Sejak saat
itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana Marsinah pergi. Mungkin ia
pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin
ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa dipastikan, ia tidak kembali ke
pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke
rumah pamannya di Surabaya.
Tidak ada
yang tahu jawabnya. Tak satupun pertanyaan di atas terjawab di pengadilan sesat
yang direkayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian
personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir
perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober
1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh
Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh
Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan
Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995,
mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini hanya menunjukkan betapa sistem
peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan.
20 tahun
sudah berselang semenjak kematian Marsinah, seorang buruh perempuan biasa yang
mau berjuang untuk hak dan kebenaran. 20 tahun pula nasib kematiannya
terkatung- katung tanpa kejelasan. Kuburnya sudah dibongkar berkali – kali
namun tak pernah menemukan jawaban pasti atas kematiannya. Kematian Marsinah
adalah misteri, kematian Marsinah adalah luka yang ditorehkan pada keadilan.
Keadilan adalah milik penguasa dan yang beruang sehingga tidak ada tempat bagi
Marsinah, tidak ada tempat bagi rakyat kecil.
Mungkin
Marsinah sudah tiada tapi pencarian keadilan atas kematian marsinah tidak akan
pernah luntur oleh waktu. Karena kita masih mengingat marsinah, kita masih
menyuarakan keadilan untuk marsinah. Selama itulah ia akan selalu diingat dan
menjadi inspirasi bagi kita. Seperti yang tertuang dalam sebuah puisi, Marsinah
adalah arloji sejati, ia tidak pernah mati.
Akhir
kata, sahabat marsinah. Semoga sosok Marsinah tetap ada di jiwa kita dan
menjadi api penyemangat. Salam setara, sampai jumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar