Pada tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
Latar itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif ada di tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Berdasarkan survei dan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda tentang foto-foto yang ada sejak tahun 1850 hingga 1940, dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama orang Eropa, 186 orang Cina, 45 orang Jepang, dan hanya empat orang lokal Indonesia, salah satunya adalah Kasian Cephas.
Kasian Cephas adalah warga lokal asli. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft, lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.
Dibutuhkan waktu hampir seratus tahun bagi bangsa ini untuk benar-benar mengenal dunia fotografi. Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah menciptakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Pada saat itulah muncul nama Mendur Bersaudara. Merekalah yang membentuk imaji baru tentang bangsa Indonesia.
Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha menggiring mental bangsa ini menjadi bermental sama tinggi dan sederajat. Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur, juga menjadi icon bagi dunia fotografer nasional. Mereka kerap merekam peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya adalah mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.
Kassian Cephas
Nama Kassian Cephas tidak banyak dikenal orang sampai foto-foto karyanya dipamerkan di kraton mulai 11 Juni 1999 yang lalu di Bale Bang, Kraton Yogyakarta. Bahkan mungkin para mahasiswa yang kebetulan pernah mempelajari fotografi di bangku kuliah kurang begitu familiar dengan namanya. Literaratur-literatur sejarah Indonesia pun tidak pernah menyebut-nyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional, atau menurut bahasa Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang menyusun buku “Cephas, Yogyakarta: photography in the Service of the Sultan” ) sebagai salah satu pionir modernitas. Namanya memang tidak seharum dan melekat di benak banyak orang seperti nama Wahidin Sudirohusodo atau KH. Dewantara yang sama-sama berasal dari Yogyakarta dan hidup satu jaman dengannya.
Apa yang menarik dari foto-foto karya Cephas? Dari foto-foto yang dipajang di Bale Bang dan di buku karya Knaap tampak bahwa Cephas memotret banyak hal: sultan dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar kraton, upacara garebeg di alun-alun, iring-iringan benda-benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, pemandangan kota Yogya jaman itu saat jalan raya sepanjang Malioboro sampai depan Benteng Vredeberg masih sepi dan dipenuhi pohon-pohon besar di kiri-kanannya, sudut-sudut kota yang menurutnya menarik dan sebagainya.
Fotografi, tidak ada bedanya dulu dan sekarang, tetap dianggap sebagai kegiatan yang mahal. Banyak peralatan dan piranti yang harus dibeli, banyak biaya yang dibutuhkan. Maka itu orang yang menggeluti dunia fotografi tentulah bukan orang yang sembarangan. Pada jaman sekarang saja orang masih kerap memandang kagum kepada fotografer yang membawa seperangkat alat yang bermacam-macam bentuknya, lebih-lebih pada masa itu, masa menjelang ujung abad 19. Foto karya Cephas yang menggambarkan suasana rumah-rumah dan toko-toko di Jalan Ngabean (sekarang Jl. KH. Ahmad Dahlan) dengan bagus menunjukkan kekaguman masyarakat pribumi kepada fotografi. Bagian terbesar dari frame foto itu berisi rumah dan toko milik orang Belanda lengkap dengan tuan-tuan dan noni-noni Belanda yang duduk-duduk di teras rumah. Sementara orang-orang pribumi asli tampak kabur, berdiri berjubel di pojok kanan. Jalan depan rumah dan toko yang sedang dipotret tampak kosong, seakan sengaja dikosongkan untuk Cephas, si fotografer. Entah bagaimana perasaan mereka waktu itu. Mungkin kagum, heran, takjub, campur jadi satu.
Sebagai satu-satunya pribumi di masa itu yang sudah menguasai peralatan fotografi, tentulah Cephas sendiri orang yang sangat istimewa. Bayangkanlah seorang pribumi bernama Kassian Cephas di tahun menjelang ujung abad 19 menenteng peralatan kamera kemana-mana.
Satu pertanyaan yang mengganjal di kepala saya adalah kenapa foto-foto yang dibuat Cephas selalu indah? Foto-foto tari-tarian, upacara-upacara, model-model cantik, arsitektur rumah masa itu, semuanya adalah gambar suasana yang menyenangkan, enak dilihat dan tentu saja indah. Sebuah suasana yang agak bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang telah terjajah hampir 300 tahun. Tentu saja saja tak ada yang salah kalau seorang fotografer itu akan memotret pemandangan yang indah atau suasana menyedihkan yang kebetulan dilihatnya. Apa yang membuat Cephas mempunyai sudut pandang kamera tentang dunia yang selalu indah, itulah pertanyaannya.
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
Publikasi luas foto-foto Cephas mulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg’s te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu.
Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat “photographe instanee”, Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, leaseholder and prominent freemason, akan meninggalkan Yogya, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan “Souvenir von Jogjakarta”. Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka.
Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman.
Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan jaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.
Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Bahkan tiket nonton di Bioskop Al Hambra (sekarang Bioskop Indra), bioskop termahal waktu itu, pada tahun 1946 pun hanya 5 gulden yang waktu itu setara 2-3 kilogram beras. Pada bulan Maret 1946, harga tiket Al Hambra naik jadi 10 gulden. Tapi masih tetap sedikit dibanding dengan gaji Cephas.
Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa “Batavian Society” yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeological Union. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulangkorn dari Thailand berkunjung ke Yogya tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina memberi penghargaan berupa medali emas Orange-nassau kepada Cephas pada tahun 1901.
Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status “gelijkgesteld met europeanen” atau “equivalent to Europeans” (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares.
Dunia Kassian Cephas memang dunia yang indah bagi ukuran orang pribumi. Waktu itu penjajahan sudah berjalan hampir 300 tahun. Orang Belanda sudah menjadi seperti bagian sehari-hari bangsa Jawa, bangsanya Kassian Cephas. Dan Cephas termasuk sedikit orang yang persis berada di tengah-tengahnya. Menikmati seluruh keistimewaan pergaulan sosial dan penghargaan dari masyarakat elit Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya kenapa karya-karya foto Cephas berisi suasana yang menyenangkan dan indah. Bukan lantaran ia adalah fotografer sultan dan juga bukan karena ia diminta untuk membuat foto-foto seperti itu oleh pemesan fotonya. Tapi mungkin karena “world view” Kassian Cephas sendiri memang indah, dunia sehari-harinya indah dan menyenangkan, maka lensa kameranya pun hanya mampu meneropong suasana yang indah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di The Jakarta Post, 24 Juni 1999 dengan judul “Classic Photographer Cephas Presents Beautiful Past”.
Organisasi Foto Indonesia
Tidak ada catatan tertulis yang mengatakan dengan tepat berapa jumlah Klub Foto Amatir di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga terbentuknya:
1. G A P E R F I
Merupakan singkatan dari Gabungan Perhimpunan Seni Foto Indonesia, didirikan pada tahun 1953 dengan ketuanyaMayor R.M. Soelarko.
GAPERFI adalah sebuah perhimpunan dari berbagai Klub Foto pada awal berdirinya di tahun 1953, memiliki anggota 7 Klub Foto. Pada tahun 1956 jumlahnya telah membengkak menjadi 13 Klub Foto yang berasal dari seluruh Indonesia.
Tanpa menemui halangan yang berarti, GAPERFI yang telah berhasil melakukan dua kali kongres pada tanggal 28 – 30 Oktober tahun 1955 di Semarang dan pada bulan Juli 1956 di Bandung, adalah murni merupakan gabungan dari seluruh perkumpulan atau klub foto di seluruh Indonesia.
Dalam usianya yang sangat singkat (1953-1957) GAPERFI sempat mengukirkan saat-saat bersejarah dan indah dalam dunia fotografi di tanah air kita, yaitu dengan mengadakan “Salon Foto Indonesia I” pada tahun 1956, atau yang dikenal dengan nama 1st International Photosalon of Indonesia. GAPERFI juga sempat menerbitkan majalahnya yang bernama “KAMERA” – Madjalah Untuk Penggemar Foto – yang mana telah terbit untuk pertama kalinya pada bulan Februari 1956. KAMERA adalah majalah “bulanan” foto pertama di Indonesia. Sayang hanya sanggup terbit sekali saja.
2. PAF BANDUNG
Sejarah Fotografi Indonesia mencatat bahwa Persatuan Amatir Foto (PAF) Bandung yang lahir pada jaman penjajahan kolonial Belanda yang berdiri pada tanggal 15 Februari 1924, jauh sebelum Perang Dunia II, adalah sebuah Klub Foto Amatir pertama dan tertua di Indonesia. PAF menjadi anggota GAPERFI pada tahun 1954.
Pada tahun 1967 PAF menerbitkan buletinnya yang dikenal dengan nama “Bulletin PAF”, dicetak dalam bentuk stensilan. Diterbitkan guna memenuhi kebutuhan anggotanya akan informasi dan pengetahuan tentang fotografi.
Dalam sejarah Fotografi di tanah air, PAF Bandung mempunyai peran utama sebagai pencetus gagasan dan motor penggerak yang akhirnya melahirkan “FPSI” pada tahun 1973.
3. L F C N
Disamping PAF Bandung, ada lagi sebuah Klub Foto yang juga tergolong tua (nomor 2) di tanah air kita, yaitu Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN) yang didirikan pada tahun 1948 – saat itu bernama “Sin Ming Hui”. Klub Foto Candra Naya (dh.Tjandra Naja) merupakan salah satu bagian kegiatan dari sebuah Lembaga yang bergerak dalam berbagai bidang pendidikan dan sosial
Kelak di kemudian hari LFCN bersama-sama dengan PAF Bandung dan berbagai Klub Foto lainnya akan turut meletakkan tonggak yang bersejarah dalam pendirian sebuah Federasi Foto Nasional di Indonesia yang kemudian bergabung ke Dunia Fotografi Internasional.
Pada perkembangannya, Club Foto Candra Naya lah yang bertahan sampai sekarang..
4. MAJALAH FOTO INDONESIA (FI)
Dari sebuah gudang pribadi tempat penyimpanan arsip lama dan buku-buku tua, baru-baru ini diketemukan majalah foto terbitan tahun 1934 dengan nama “De Indische Foto Wereld”. Terjemahan bebasnya kira-kira adalah Dunia Foto Indonesia.
Majalah foto yang dicetak prima dan menggunakan sampul depan itu memuat tulisan dan foto-foto Indonesia tempo doeloe. Dimana pada saat itu telah terbit dalam 2 bahasa, yaitu Belanda dan Melayu. Ini adalah majalah fotografi tertua di Indonesia. Selanjutnya setelah lama tidak ada kabarnya, pada tahun 1956 terbit majalah foto KAMERA keluaran GAPERFI yang hanya terbit sekali saja.
Kemudian terjadi kekosongan dalam dunia penerbitan majalah foto hingga akhirnya lahirlah majalah “FOTO INDONESIA” (FI) yang terbit perdana pada bulan Februari tahun 1969 – satu-satunya di Asia Tenggara pada masa itu.
Foto Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan patut mendapat tempat terhormat dalam Sejarah Foto di Indonesia karena peran dan posisinya yang sangat strategis dalam penulisan foto, dan juga meliput pemberitaan berbagai peristiwa foto di Indonesia dan dunia. Sejalan dengan misi dan tujuannya sebagai media informasi foto nasional satu-satunya di masa itu, Foto Indonesia berusaha mengembangkan berbagai penulisan yang bermutu tinggi dalam hal teknis foto, sejarah foto dan juga berbagai catatan kejadian foto.
Foto Indonesia secara “tidak sengaja” telah turut mempromosikan berbagai tokoh dan calon tokoh foto Indonesia untuk waktu itu, dan kemudian hari. Bahkan pernah mengusulkan pembentukan Indonesia Photographic Societybeberapa tahun sebelum lahirnya FPSI.
Sangat disayangkan bahwa Foto Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi terhadap dunia foto di tanah air ini akhirnya harus berhenti terbit pada tahun 1986, dikarenakan berbagai masalah intern, maupun ekstern yang tidak terhindarkan. Sementara mantan Pemimpin Redaksi dan beberapa penulisnya tetap aktif berkarya dalam berbagai penulisan dan kegiatan foto di media informasi dan cetak nasional maupun di penjurian pameran ataupun lomba foto.
Masa-masa Bertahan Hidup
Setelah GAPERFI memudar dan akhirnya hilang perlahan-lahan, maka kegiatan dunia fotografi di tanah air seolah hidup segan mati pun tidak mau. Suasana politik dan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil pada masa itu (1956 – 1966), seolah membuat kegiatan masyarakat foto nasional nyaris lumpuh. Tidak ada kegiatan lomba maupun pameran foto yang berarti atau pantas dicatat selama kurun waktu itu.
Prof.DR.R.M.Soelarko dalam tulisannya di Bulletin PAF nomor 57-1973 – Siap Menghadapi Salonfoto dan Kongres Fotografi - mengatakan bahwa tahun-tahun setelah GAPERFI -1956-1966 – adalah masa-masa survival. Beruntunglah setelah tahun 1966 keadaan berangsur-angsur pulih dan kegiatan dunia foto nasional mulai menggeliat kembali. Setelah berhasil melewati masa-masa sulit, akhirnya mereka dapat menghasilkan beberapa kegiatan, dimana diantaranya adalah sebagai berikut :
- Pada tahun 1967 PAF Bandung menerbitkan Buletin-nya (stensilan) yang pertama.
- Kemudian disusul dengan terbitnya Majalah Foto Indonesia (FI) pada bulan Februari tahun 1969.
- Sementara itu berbagai Klub Foto mulai memperlihatkan kegiatannya yang positif dan menggembirakan.
Sedemikian rupa keadaannya, sehingga kebutuhan akan adanya suatu Wahana Foto Nasional mendesak untuk segera diwujudkan.
5. PEMBENTUKAN SEKRETARIAT BERSAMA (SB)
Pada tahun 1970-an sekelompok penggemar fotografi yang memiliki idealisme dan kepedulian tinggi terhadap perkembangan dunia fotografi di tanah air, telah melahirkan gagasan untuk membentuk suatu wahana yang dapat mengakomodasikan seluruh kegiatan foto di tanah air. Tujuannya tidak sekedar untuk penyaluran hobi atau berekreasi saja, tetapi lebih dilandasi pemikiran yang berwawasan jauh, luas serta mendalam. Yaitu suatu keinginan untuk menjadikan Fotografi Indonesia, dengan segala dinamika dan romantikanya, menjadi bagian dari Keluarga Foto Internasional sekaligus mengangkat citra Indonesia.
Karena sudah tidak tahan lagi, segera disusun dan dibuat beberapa kali pertemuan. Akhirnya tercapai kesepakatan untuk membentuk sebuah komite yang bersifat sementara dan dinamakan “Sekretariat Bersama” (SB). Dimana tugas SB ini adalah menghubungi dan mendaftar semua Klub Foto yang ada di Indonesia untuk bergabung dan melaksanakan Musyawarah Nasional guna pembentukan sebuah wahana foto nasional.
6. F P S I
Akhirnya, setelah melalui serangkaian kerja keras, pada tanggal 28-29 Desember 1973 SB yang mengkoordinir perkumpulan-perkumpulan Foto se Indonesia menggelar Musyawah Nasional-nya selama dua hari bertempat di Taman Ismail Marzuki – Jakarta.
Munas yang dihadiri oleh 8 Klub Foto dari seluruh Indonesia itu (sisanya membuat pernyataan mendukung – apapun hasil Munas), akhirnya melahirkan sebuah wahana foto nasional yang bernama Federasi Perkumpulan-perkumpulan Senifoto Indonesia atau disingkat FPSI dalam bahasa Inggrisnya Federation of Photographic Societies Indonesia. Sekaligus mengangkat Ketua-nya yang pertama, yaitu Prof.DR.R.M.Soelarko dan Wakil Ketua A.Muhamad dengan BendaharanyaDjohan Tirtadjaja.
Dengan lahirnya FPSI yang merupakan puncak kegiatan dan prestasinya, otomatis SB yang bersifat sementara dan sudah bekerja maksimal dan optimal selama 2 tahun itu kemudian dibubarkan.
7. SALON FOTO INDONESIA I (1973)
Mendahului terbentuknya FPSI, pada tanggal 27 Desember 1973 telah diadakan Resepsi Pembukaan (dengan penyerahan hadiah-hadiah) Salonfoto Indonesia 1973 oleh Bapak H.Adam Malik – waktu itu Menteri Luar Negeri RI – yang mempunyai kedudukan sebagai Pelindung Salon Foto (tidak untuk umum).
Selanjutnya Salon Foto Indonesia I (1973) berlangsung bersamaan dengan Musyawarah Nasional yang melahirkan FPSI, bertempat di Taman Ismail Marzuki juga (untuk umum). Patut diketahui bahwa koordinator dari penyelenggaraan Salon Foto Indonesia I ini adalah PAF Bandung dan Candranaya Jakarta. Salon Foto Indonesia tahun 1956 yang diselenggarakan oleh GAPERFI – 1st International Photosalon of Indonesia - diakui sebagai Salon Foto Indonesia.
Kemudian dalam kiprahnya, mereka telah sukses menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, diantaranya yaitu:
- Munas yang ke XX pada tanggal 27-28 Oktober 2000, yang bertempat di Klaten.
- Mempersiapkan Salon Foto Indonesia ke XXI, yang mana akan dilangsungkan di Bandung dengan tuan rumah PAF Bandung sebagai Pelaksananya.
FIAP singkatan dari Federation Internationale de L’Art Photographique.
FIAP merupakan Induk Organisasi dari berbagai Federasi dan Perkumpulan Foto Nasional yang ada pada setiap negara anggotanya dan secara teratur mengadakan kegiatan-kegiatan foto antar negara-negara anggotanya. Sebelumnya, bersamaan dengan dibentuknya SB, disusun pula rencana untuk bergabung dengan FIAP – yang segera direalisir begitu FPSI terbentuk.
Untuk merintis keanggotaan di FIAP, Ketua SB Prof.DR.R.M.Soelarko memerlukan waktu lebih dari 2 tahun mengadakan kegiatan surat menyurat dengan Ketua FIAP, Mr.van de Wijer. Akhirnya pada saat terbentuknya, FPSI langsung menjadi anggota FIAP yang berarti Fotografi Indonesia telah menjadi bagian dari Keluarga Foto Dunia yang diakui secara Internasional.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar